Falsafah Obat dan Pengobatan

Selasa, 02 Februari 2010

Semenjak dunia berkembang dan dihuni oleh manusia serta mahkluk hidup lainnya, mungkin sudah ada penyakit dan usaha untuk mengobatinya. Keadaan sehat dan sakit adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ini berlaku bagi semua makhluk hidup : di dunia insani, hewani maupun di dunia tumbuh-tumbuhan sekalipun.

Di dalam dunia hewani dapat dilihat bahwa mempertahankan hidup secara naluriah sangat tinggi. Seekor binatang sehat pada umumnya tidak akan memakan sesuatu dari alam sekeliling yang akan membahayakan eksistensinya. Misalnya tidak ada binatang sehat yang makan daun Oleander yang mengandung glikosida yang berbahaya bagi jantung. Juga tidak akan ada yang memakan daun Kecubung yang mengandung alkaloida golongan tropan yang sangat beracun yang bekerja sebagai antikolinergik/parasimpatolitik. Umumnya tanam-tanaman yang mengandung zat beracun tidak mendapat gangguan dari binatang atau hewan, karena secara naluriah akan dihindarinya.

Sekarang bagaimana seekor binatang yang sakit? Secara naluriah seekor binatang yang sakit juga akan mencari sesuatu di alam sekelilingnya demi mempertahankan hidupnya. Cukup sering dilihat seekor anjing dan kucing mencari rerumputan atau daun-daun tertentu, mungkin sekali karena bahan-bahan itu mengandung zat atau zat-zat yang dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakitnya atau untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan zat/hara tertentu. Dengan demikian ia “mengobati dirinya sendiri”, dengan memasok (mensuplai) tubuhnya dengan bahan/zat/hara yang diperlukan.

Sebagai ilustrasi dari mempertahankan eksistensi serta keturunan ialah ayam petelur yang lepas (bukan ayam broiler), dapat dilihat ayam lepas itu mencocok atau mencukil dinding tembok untuk mendapatkan zat kapur yang diperlukan untuk pembentukan kulit telurnya. Kekurangan zat kapur disupleinya secara naluriah.

Bagaimana keadaannya dengan manusia? Yang membedakan manusia dengan hewan ialah akal. Tetapi manusia purba dan yang masih hidup primitif (dimana akal masih kurang berkembang),eksistensi hidupnya juga masih banyak dipengaruhi oleh nalurinya.

Manusia yang sehat dengan pengalamannya mengetahui bahan alamiah mana dapat dimakannya dan mana yang tidak, karena mengandung racun. Suatu hal yang paradoksal, masih saja banyak terjadi keracunan dengan bahan-bahan yang sudah diketahui mengandung racun. Misalnya masih sering terjadi keracunan dengan Aflatoksin dari kacang-kacangan, keracunan dengan jamur dari tempe bongkrek, keracunan dengan asam sianat dari singkong dan sebagainya, seolah-olah manusia tidak belajar dari pengalamannya.

Bagaimana dengan manusia primitif yang sakit atau kekurangan akan suatu zat/hara dalam sistem faalnya? Contoh berikut dapat memberikan gambaran : suatu suku bangsa primitif mempunyai kebiasaan memakan tanah. Mulanya hal ini mengherankan, tetapi setelah diadakan penelitian lebih mendalam ternyata ada dua hal yang berkaitan : pertama, tanah yang dimakan banyak mengandung zat besi; kedua, diit sehari-hari suku itu kurang akan zat besi. Secara naluriah suku itu mencari zat besi dari tanah, sehingga mereka tidak mendapat penyakit anemia karena kekurangan Fe.

Manusia dengan peradaban yang lebih tinggi secara turun temurun telah mengetahui banyak tentang obat-obat alamiah serta penggunaannya untuk mengobati penyakit. Sebagian besar obat alamiah ini adalah yang berasal dari alam nabati atau dunia tumbuh-tumbuhan. Inilah taraf ,mula dari apa yang dikenal sekarang dengan “obat tradisional”.

Tambah berkembangnya akal serta peradaban manusia, maka tambah pula perbendaharaan obat-obatan yang dipakai, termasuk bahan asal nabati dan hewani, diantaranya secara ilmiah juga sudah dapat distandarisasi. Perkembangan selanjutnya ialah sebagian dari obat-obat yang sekarang ada sudah dapat dibuat secara sintesis di pabrik-pabrik.


Ars Prescribendi

1 komentar:

Doni Sutriana mengatakan...

mencerahkan tulisannya

ti2k's blog Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template for Bie Blogger Template Vector by DaPino